Monday, June 13, 2011

Tahapan Perkembangan Kota di Indonesia

0 comments

      1. Masa Tradisional - Kolonial                 
Sejarah perkembangan kota di Indonesia dari masa tradisional sampai kolonial, secara umum dapat dibagi ke dalam empat periode (berdasarkan pembagian sejarah pertumbuhan aglomerasi di Asia Tenggara dan Indonesia menurut Lombard, dalam Sumalyo, 1993):
                          I.      Periode I, dimulai dari abad III-IX, berdasarkan bukti-bukti Indianisasi, tulisan-tulisan di batu dan lain-lainnya model India.
                        II.      Periode II, dari abad IX-XV ; berdasarkan bukti-bukti arkeologis seperti Angkor, sistem pengairan berupa kanal dan kuil-kuil raksasa orang Khmer.
                      III.      Periode III, dari abad XV sampai dengan XVIII ; di Jawa mulai tumbuh kota-kota Gresik, Tuban, Banten, Batavia, Aceh, Makassar, sejalan dengan masuknya Islam.
                      IV.      Periode IV, abad XIX-XX ; kota-kota di Asia Tenggara makin tumbuh dan berkembang.
                Apabila ditinjau lebih jauh morfologi kota-kota tradisional di Indonesia, bentuk pusat-pusat pemerintahan tradisional pada periode Majapahit merupakan lingkungan in tra-muros (di dalam dinding/benteng)hanya dengan satu pintu masuk terletak di utara. Di dalam dinding terdapat Kraton yang terbagi-bagi menjadi beberapa tempat tinggal: untuk raja, ayah raja, dan berbagai pengawal kerajaan. Di depan pintu gerbang di sebelah utara Kraton terdapat lapangan luas yang disebut Lebuh Agung. Keluarga kerajaan bertempat tinggal di sebelah barat., identik dengan penghunian para aristrokrat di Surakarta dan Yogyakarta. 
Tamansari

Alun-alun Kidul

Masjid Kauman

Tugu Jogja

       2.       Masa Pra VOC dan Masa Kolonial
Perkembangan kota masa pra-VOC terdiri dari:
                          I.      Perkembangan kota zaman pra-VOC, kota-kota yang direncanakan pada masa sebelum kedatangan VOC.
                        II.      Perkembangan kota zaman VOC, berupa perbentengan yang berpola kota abad pertengahan di Eropa Barat.
                      III.      Kota-kota kolonial, terjadi di akhir abad ke-19. 



       3.       Masa Kolonial Abad ke-20
Merupakan masa yang dilandasi pemikiran perencanaan kota modern pada awal abad ke-20.
                          I.      Revolusi industri
                        II.      Politik kulturstelsel
                      III.      Politik Etika (Etische Politiek)
                      IV.      Pengembangan perangkat institusi dan konstitusi baru 

       4.       Kota Dekade 1950-an
Merupakan masa transisi dari masa penjajahan ke masa kemerdekaan yang menyangkut berbagai bidang pembangunan di Indonesia. Lonjakan jumlah penduduk di kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, Bandung, dll disebabkan oleh faktor ekonomi, faktor politik, faktor daya tarik, dan faktor psikologis. 

       5.       Kota Masa Repelita
Perkembangan wilayah terbangun secara sporadis di pinggiran dalam atau luar kota merupakan fenomena yang terjadi pada kebanyakan kota-kota besar. Lingkungan perumahan padat di bagian tengah kota atau kampung merupakan masalah perumahan yang juga mendapat perhatian khusus.

  Source: Pengantar Perencanaan Perkotaan, Penerbit ITB, http://ariusbhe.wordpress.com

Compact City : Surga atau Neraka Perkotaan Indonesia

1 comments
Pendahuluan
Penerapan perencanaan kota di dunia mempunyai sejarah yang panjang yang dapat dianalisis dari keberadaan kota-kota tua yang telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Namun konsep perencanaan kota modern dimulai sejak abad ke-19 saat terjadi Revolusi Industri dimana negara-negara di Eropa mulai mengalami tekanan dan permasalahan seperti perumahan, udara, air, dll (Relph, 1987). Hingga abad ke-20 mulai diperkenalkan berbagai macam bentuk kota dengan segala kelebihan dan kekurangan serta dampaknya terhadap lingkungan. Urban sprawl yang merupakan bentuk dasar terbangunnya kota, semakin hari semakin mendapat kritik kecaman dikarenakan oleh berbagai sisi negatif yang melatarbelakanginya dalam aspek lingkungan, sosial dan ekonomi (Newman and Kenworthy, 1989). Pada tahun 1970, ide tentang keberlanjutan (sustainability) mulai menjadi topik penting dan aliran utama di setiap literatur perencanaan kota. Maka ide kota kompak (compact city) muncul dan dipandang lebih berkelanjutan dibanding urban sprawl dalam teori perencanaan kota.
Dalam strategi pengembangan kota masa depan, keberlanjutan merupakan “elemen inti” dan solusi bagi urban sprawl. Berbagai pengertian tentang konsep urban sprawl yang pada intinya yaitu “…unplanned, uncontrolled, uncoordinated.”. Ciri-ciri lain yaitu bukan fungsi campuran (mix of uses), tidak mempunyai batas lahan yang jelas, kepadatan rendah, berpola pita atau garis, menyebar, melompat, atau terisolasi dan sangat bergantung pada kendaraan. Ciri-ciri seperti itu mendominasi kota-kota di dunia 50 tahun yang lalu dan dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan budaya. Dampak dari urban sprawl yaitu pemborosan energi, mahalnya kebutuhan infrastruktur, kemacetan karena peningkatan lalulintas, segregasi sosial ekonomi, polusi udara, dll.
Seperti yang telah disebutkan diatas, model kota kompak telah menjadi solusi alternatif dari urban sprawl dimana kota kompak lebih menitikberatkan tentang intensifikasi kota, menciptakan batas pertumbuhan kota, pembangunan mixed-use, dan memfokuskan pada transportasi publik dan urban design. Pada awal tahun 1990, kebijakan kota kompak secara antusian diimplementasikan oleh berbagai negara. Khususnya di Inggris dan seluruh Eropa menjadikan pembangunan berkelanjutan sebagai tujuan mereka. Namun pada saat itu banyak pula yang mengkritik bahwa model kota kompak tidak akan membawa keadaan kota kepada keberlanjutan karena terdapat banyak keterbatasan dan kesulitan dalam pengembangannya. Urban sprawl menjadi menarik pada tingkat individual. Dimana sebuah survey di Amerika menyatakan bahwa kebanyakan orang ingin mempunyai rumah besar dengan halaman luas serta kendaraan yang bagus. Hal ini menjadi kontradiksi dimana  di satu sisi menciptakan peluang bagi pengembang properti dan layanan namun disisi lain menciptakan sprawl yang membuat daftar permasalahan kota semakin panjang termasuk diantaranya kemacetan lalulintas, kurangnya lahan produktif, polusi udara dan mahalnya infrastruktur (Duany, 2000). Yang menjadi kesulitan ialah kompleksitas dari “kota kompak” atau “smart growth  dimana mengandung berbagai macam definisi, syarat sebagai solusi urban sprawl. Harus ada definisi akurat tentang kota kompak sehingga dapat dianalisis manakah yang ya, mana yang bukan merupakan bentuk kompak. Riset tentang kota kompak sangat dihambat oleh kurangnya konsensus mengenai pengertian dan tidak adanya pengakuan indikator sebagai pengukuran (Burton, 2002). Sebagai hasilnya, sangatlah dibutuhkan untuk mengetahui manakah yang merupakan kota kompak dan bagaimana konsep ini berkembang secara internasional. Maka model kota kompak tidak dapat langsung diterapkan begitu saja terhadap sebuah kota namun harus dilakukan riset pada tingkat individual maupun kolektif sehingga bisa saja menciptakan variasi baru dalam model kota kompak. Pentingnya mengenal karakteristik wilayah untuk menciptakan kehidupan yang nyaman, terjangkau, berkelanjutan dalam aspek sosial-budaya, lingkungan serta ekonomi.
Tulisan ini akan memuat bagaimana urban sprawl terbentuk hingga kepada kota kompak dan difokuskan kepada topik intensifikasi kota, contoh kota kompak di negara-negara Eropa serta kemungkinannya untuk diterapkan di negara berkembang khususnya Indonesia.

Urban sprawl
Sebelum Revolusi Industri yaitu pada akhir abad ke-18, sebagian besar masyarakat hidup di daerah desa (rural area). Meskipun kota telah ada sejak ribuan tahun yang lalu namun jumlah manusia yang hidup di kota sangat kecil. Hingga Revolusi Industri terjadi dimana penemuan teknologi semakin maju dan kegiatan industri menggantikan pertanian, mesin-mesin ditemukan, inovasi di bidang kesehatan meningkat, urbanisasi sehingga terjadi ledakan jumlah penduduk khususnya yang hidup di kota. Newman (2002) mengkategorikan bentuk kota ke dalam 3 fase. Pertama, kota tradisional terbentuk dengan ciri-ciri luasnya hanya kurang lebih 5 km jarak dari ujung ke ujung. Kota ini berkembang hanya pada jangkauan pejalan kaki. Kedua, saat dimana ditemukannya kereta dan trem yang menghubungkan satu tempat dengan tempat lainnya dan memungkinkan penyebaran tempat tinggal hingga mencapai 20-30 km tergantung kemampuan moda transportasi. Ketiga, saat dimana teknologi kendaraan seperti mobil dan bus ditemukan. Kemunculan kendaraan seperti ini yang mempengaruhi bentuk kota karena dapat mengembangkan kota ke segala arah hingga mencapai 50 km dari pusat kota. Hal ini mengakibatkan kepadatan yang rendah karena manusia menghindari pusat kota yang penuh polusi dan kebisingan dari kegiatan industri. Hal tersebut wajar karena kota tidak lagi menyediakan tempat tinggal yang nyaman. Maka terbentuklah kota satelit atau suburban. Kemajuan teknologi transportasi memfasilitasi antara kota (tempat kerja) dengan suburb (tempat tinggal). 

Pemilihan lokasi hunian di piggiran kota dengan asumsi harga lahan yang lebih murah dan kondisi udara yang masih sehat. Penduduk yang semula menyewa rumah, dengan semakin meningkat pendapatan sebagian penduduk memilih lokasi tinggal di luar kota agar memiliki rumah tingal sendiri. Sebagian penduduk yang berpenghasilan rendah dengan terpaksa menempati rumah tinggal yang sempit dan kumuh.
Menurut Gillhan (2002), empat karakteristik urban sprawl yaitu pembangunan yang menyebar atau melompat, pembangunan area komersial yang memanjang, kepadatan rendah dan pengunaan tunggal. Urban sprawl adalah fenomena yang komplek. Satu lagi karakteristik yaitu kurangnya public space.

Keberlanjutan
Kata berkelanjutan dapat diartikan sebagai pola pembangunan manusia. Meadow dalam studinya, The Limits to Growth (1972), memperkirakan bahwa akan terjadi kiamat dalam sistem global di abad ke-21 jika pertumbuhan tetap dan konsumsi sumberdaya terus berjalan konstan seperti keadaan sekarang tanpa intervensi. Langkah yang harus ditempuh untuk menghindari atau paling tidak memperlambat terjadinya kehancuran yaitu dengan mengelola kehidupan dalam aspek lingkungan, ekonomi dan sosial secara berkelanjutan untuk kehidupan di masa yang akan datang.
Pembangunan berkelanjutan dapat diartikan pula sebagai pembangunan yang mempu memenuhi kebutuhan masyarakatnya masa kini tanpa mengabaikan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka (Eko Budiharjo). Maka harus ada pembangunan yang sinergis dan berimbang dalam pemanfaatan sumberdaya, arah investasi dan orientasi pembangunan.
Dari segi lingkungan, dua permasalahan pada urban sprawl adalah inefisiensi penggunaan lahan, serta tingkat polusi udara yang tinggi. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa urban sprawl sangat menarik pada tingkat individual seperti rumah mewah yang besar dan halaman yang luas, namun pada tingkat komunal hal tersebut sangat merusak. Dampaknya yaitu berkurangnya daya dukung lingkungan dan kerusakan habitat alami flora dan fauna. Polusi udara yang terjadi juga menyebabkan global warming. Jika dulu sejak Revolusi Industri polusi disebabkan oleh kegiatan industri, namun sekarang lebih disebabkan oleh emisi kendaraan bermotor.
Dalam segi ekonomi, urban sprawl sangat tidak efisien terutama dalam penyediaan infrastruktur oleh pemerintah lokal. Hal yang harus dibiayai seperti pembangunan jalan, serta sarana dan prasarana lain. Namun hal yang jelas bahwa urban sprawl sangat menguntungkan pengembang properti.
Aspek sosial sangat sulit untuk diukur secara akurat. Sisi negatif yang dapat dilihat seperti: terbatasnya pilihan moda transportasi bagi kalangan miskin karena mahalnya harga kendaraan; munculnya ketakutan dan kegetiran masyarakat terhadap bahaya berlalulintas; bahaya paparan polusi yang menyebabkan buruknya kesehatan; dll.
Dibutuhkan 5 elemen dalam pengembangan kota dan perencanaan wilayah agar keberlanjutan dapat terlaksana.
1)    Penghematan penggunaan energi dan limbah buangan per kapita.
2)    Meminimalisir konversi lahan terutama lahan produksi pangan.
3)    Meminimalisir penggunaan material yang membahayakan lingkungan.
4)    Reboisasi atau reklamasi lahan-lahan yang terbengkalai.
5)    Melakukan penghijauan untuk mereduksi kebisingan dan polusi.
Wacana sustainability dalam desain kota dan arsitektur merupakan isu lama yang sulit untuk terwujud. Hal itu disebabkan karena terlalu banyak aspek yang perlu diperhatikan. Beberapa aspek fisik desain kota berkelanjutan adalah sebagai berikut.

Kota Kompak
Terdapat banyak definisi dari kota kompak. Burton (2000) dalam tulisannya menyatakan pendekatan kota kompak adalah meningkatkan kawasan terbangun dan kepadatan penduduk permukiman, mengintensifkan aktifitas ekonomi, sosial dan budaya perkotaan, dan memanipulasi ukuran kota, bentuk dan struktur perkotaan serta sistem permukiman.
Pada awal tahun 1900, Uni Eropa telah mengembangkan model kota kompak sebagai bentuk kota yang paling berkelanjutan. Keunggulan dari kota kompak yaitu pertama, menghemat sumberdaya dan energi (lahan, transportasi, polusi, sampah), yang kedua pengkonsentrasian kegiatan di pusat kota untuk menghindari munculnya kota satelit di sekitar pusat kota. Jelas mengapa negara-negara maju seperti Uni Eropa sudah begitu memprioritaskan kepada penghematan energi, perubahan sistem transportasi, dll. Karena di negara maju, biaya bukanlah menjadi kendala. Maka model kota kompak mudah untuk diwujudkan.
Roychansyah (2005) menyebutkan 6 faktor penting sebagai atribut kota kompak yaitu: pemadatan populasi, pengkonsentrasian kegiatan, intensifikasi transportasi publik, ukuran optimal kota, kesejahteraan sosial-ekonomi dan proses menuju kota kompak.
Keenam atribut tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Jika ada salah satu komponen tidak memenuhi syarat maka suatu kota belum bisa dikatakan sebagai kota kompak.
Ciri kota kompak menurut Dantzig & Saaty (1978) paling tidak dapat dilihat dari 3 aspek yaitu bentuk ruang, karakteristik ruang, dan fungsinya.
Menurut Eko Budiharjo prinsip-prinsip kota hijau yaitu pertama, tata guna lahan yang menghargai alam, menjaga badan air, topografi dan ruang terbuka. Kedua, orientasi pada pejalan kaki (pedestrian) dengan pola lingkungan swasembada sehingga warga kota dapat berbelanja, berekreasi, bersekolah, bersosialisasi dengan berjalan kaki saja. Ketiga, pendayagunaan system transportasi umum terpadu dilandasi prinsip Transit Oriented Development, dengan menempatkan kawasan permukiman, perkantoran, perdagangan, dekat stasiun atau simpul transportasi. Keempat, memanfaatkan berbagai metode untuk memperlambat laju kendaraan agar jalan raya menjadi lebih aman dan nyaman, lazim disebut dengan traffic calming. Kelima, intensifikasi penggunaan lahan agar kota menjadi kompak, dengan prinsip pusat-pusat jamak, polisentris, atau multicenter.
Sebenarnya kota kompak merupakan konsep tradisional bagi negara-negara Eropa yang sudah diterapkan sejak abad pertengahan (wall cities). Indikasi umumnya yaitu pembangunan yang intensif, terdapat pemisah antara lahan terbangun dengan non-terbangun seperti benteng yang diterapkan pada zaman dahulu namun sekarang digunakan green buffer atau sejenisnya, lalu ukuran kota yang dapat dijangkau dengan berjalan kaki. Dibalik kelebihan yang tertera diatas ada beberapa kelemahan dari kota kompak seperti: upaya pengurangan pergerakan horisontal justru meningkatkan pergerakan vertikal seperti lift, eskalator yang tidak hemat energi; suhu panas yang ditimbulkan gedung-gedung tinggi; daya dukung lingkungan yang menampung beban berat akibat kepadatan yang dipaksakan; dll.

Kota Kompak dan Negara Maju
Kota-kota di Jepang sudah mulai menerapkan kota kompak contohnya Osaka dan Kyoto dimana keberadaan ruang terbuka sulit ditemui karena pemanfaatan yang intensif. Bentang lahan Jepang berupa perbukitan dan pegunungan, maka kota yang berada pada topografi datar yang sedikit jumlahnya begitu diintensifkan dan perbukitan digunakan sebagai area konservasi. Hal ini yang dimaksudkan bahwa kota didedikasikan sebagai pusat budidaya manusia agar tidak mengorbankan kelestarian alam. Untuk transportasi Jepang telah memiliki sistem subway yang berlapis-lapis di bawah tanah.
Di Australia dikenal istilah “konsolidasi” sebagai proses dari intensifikasi kota yang telah ada sejak lama. Keadaan kota-kota di Australia sangat sprawl karena terkendala dengan bentang alam. Namun seperti di Sydney dan Melboure telah memiliki karakteristik walking-city seperti negara-negara di Eropa.
Di Amerika, istilah kota kompak jarang digunakan. Kota-kota di Amerika Utara menjadi kota-kota yang paling tersebar di dunia. Seperti Washington, Detroit, Denver, atau San Franscisco mempunyai kepadatan penduduk rata-rata hanya 14 penduduk per hektar (Newman 1989). Di bandingkan dengan negara-negara di Eropa yang mempunyai kepadatan 50 penduduk per hektar. Di Amerika lebih dikenal dengan istilah Smart growth sebagai upaya kota berkelanjutan.

Smart growth
Smart growth adalah teori perencanaan kota dan transportasi yang mengembangkan kota ke arah walkable-city dan kompak untuk menghindari sprawl. Istilah smarth growth lebih dikenal di Amerika Utara. Di Eropa dikenal dengan kota kompak. Konsepnya sama dan memiliki tujuan: menciptakan keunikan suatu tempat; memperluas jaringan transportasi, tempat kerja dan tempat tinggal; pemerataan pembangunan; preservasi terhadap kelestarian alam; dan kesehatan publik.
Sepuluh prinsip dari smarth growth yaitu: fungsi lahan campuran, desain bangunan yang kompak; pilihan tempat tinggal, menciptakan kota yang walkable; menciptakan kekhasan suatu tempat; preservasi terhadap kelestarian alam; memperkuat dan mengembangkan masyarakat yang sudah ada; menyediakan berbagai pilihan moda transportasi publik; menciptakan pembangunan yang efisien dan efektif; serta selalu menggandeng stakeholder dalam masyarakat dalam menentukan pilihan.
Elemen dari smart growth antara lain seperti lingkungan yang kompak, Transit-Oriented Development, serta ramah bagi pejalan kaki dan pengendara sepeda.

Kota Kompak dan Negara Berkembang
Lain halnya dengan negara-negara berkembang dimana masalah yang cukup kompleks belum lepas dari fokus pemerintah. Alih-alih ingin mencapai keberlanjutan dengan membuat kota kompak, namun kondisi sangat tidak memungkinkan. Tiga kendala yang menghalang negara berkembang untuk mewujudkan kota kompak adalah jumlah penduduk yang meningkat pesat dimana seharusnya syarat kondisi untuk membentuk kota kompak yaitu dengan pertumbuhan penduduk yang lambat karena pembangunan akan terhambat jika pertumbuhan penduduk meningkat pesat.
Perwujudan kota kompak bukanlah tahap demi tahap namun suatu kota dikatakan kompak sampai seluruh komponen dipenuhi dan itu akan membutuhkan biaya yang sangat besar. Ketiga, perlunya kepemimpinan yang kuat untuk implementasi kebijakan. Karena pembangunan dilakukan untuk kebaikan masyarakat dan masyarakatpun harus ikut mendukung terhadap pembangunan. Hal ini yang masih sulit untuk dilakukan di negara berkembang dimana masyarakatnya belum menemukan kesadaran seperti kesadaran penghematan listrik, pengolahan sampah, dll. Butuh pendampingan yang kuat dari pemimpin. Kota kompak sepertinya cocok diaplikasikan di negara-negara maju namun mungkin sulit untuk negara-negara berkembang.  
Kota mega di negara-negara berkembang merupakan contoh ekstrim dari urban sprawl yang secara fisik sudah kompak namun belum berkelanjutan. Gedung-gedung hunian bertingkat sangat kontras keberadaannya dengan permukiman kumuh yang letaknya berdekatan. Ditambah lagi moda transportasi yang buruk serta kemacetan lalu lintas. Konsep keberlanjutan pada kota mega di negara berkembang sulit diwujudkan terkendala oleh kompleksitas masalah yang ada.
Formasi kota mega tidak terbentuk hanya dalam satu tahap saja melainkan terbentuk dengan proses awal konsentrasi penduduk, lalu pengembangan inti kota yang kecil menjadi semakin besar. Kota mega sangat mudah terbentuk di negara-negara berkembang. Lalu pola kota seperti apa yang mampu menyelamatkan kota agar mencapai keberlanjutan?
Terdapat banyak macam pola kota seperti: struktur inti pusat, struktur bintang, struktur satelit, struktur galaksi, struktur linear dan strukur multi kutub. Mana pola kota yang paling berkelanjutan? Pola apa yang paling sedikit mengkonsumsi energi dan sedikit pula menghasilkan buangan? Konsumsi energi dan emisi dapat diukur dari footprint ­kota seperti perjalanan ke tempat kerja, sekolah, layanan publik, perbelanjaan, dan perjalanan distribusi.  
Rumus untuk menghitung pola apa yang paling berkelanjutan yaitu menggunakan variabel seperti populasi, total produksi, tingkat lingkungan hidup, tingkat konsumsi sumberdaya dan kualitas hidup maka akan didapatkan angka efisiensinya.

Sejarah Kota Kompak di Indonesia
Sejarah memperlihatkan bahwa model kota kompak pun telah ada di Indonesia sejak ratusan tahun yang lalu. Pada jaman kerajaan-kerajaan di Jawa, pola ruang wilayah kerajaan sudah bisa dikatakan kompak. Adanya pemusatan kegiatan, batas wilayah yang jelas (benteng), kepadatan penduduk, fungsi campuran, dll. Dimana area di dalam benteng dikhususkan bagi keluarga kerajaan dan abdi dalem. Pola-pola seperti ini tidak jauh berbeda dari pola ruang negara Eropa pada abad pertengahan yang juga menganut sistim kerajaan. Pola kerajaan seperti itu berulang di beberapa tempat di pulau Jawa seperti di Yogyakarta, Kotagede, Solo, Cirebon, dll. Pola yang khas yaitu benteng sebagai pemisah, terdapat alun-alun, lalu pusat kegiatan yang mencakup pasar, tempat ibadah, pusat pemerintahan, dll.
Kalau melihat seluruh kompleks Keraton Yogyakarta, maka akan jelas terlihat bahwa semua bagian di dalamnya membentuk suatu pola/tatanan yang konsentris. Dalam tatanan ini kedudukan titik pusat sangat dominan, sebagai penjaga kestabilan keseluruhan tatanan.
Pada keraton-keraton Dinasti Mataram, keberadaan pusat ini diwujudkan dalam bentuk Bangsal Purbayeksa/ Prabuyasa, yang berfungsi sebagai persemayaman pusat kerajaan dan tempat tinggal resmi raja. Bangsal ini dikelilingi oleh pelataran Kedaton, kemudian berturut-turut adalah pelataran Kemagangan, Kemandungan, Siti Hinggil, dan Alun-Alun pada lingkup terluar.

Penerapan Kota Kompak di Indonesia
Sangat terlihat bahwa Indonesia masih jauh dari pengembangan ide kota kompak karena fokus pemerintah masih kepada penanggulangan masalah-masalah kemiskinan. Menerapkan model kota kompak di negara-negara berkembang khususnya Indonesia terlihat tidak akan sederhana. melihat kondisi eksisting dan berbagai permasalahan yang kompleks, perlu dilakukan riset dan kajian lebih lanjut apakah pantas kota kompak dikembangkan di Indonesia. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, model kota kompak bukanlah tahap demi tahap namun suatu kota dikatakan kompak sampai seluruh komponen dipenuhi dan itu akan membutuhkan biaya yang sangat besar. Hal lain yang menghambat yaitu karakteristik sosial-budaya masyarakat Indonesia yang belum tentu cocok dengan penerapan ide kota kompak. Identitas daerah dan kekhasan tempat menjadi keharusan untuk dipertahankan.
Kota Jakarta secara fisik dapat dikatakan kompak namun belum berkelanjutan. Pembangunan secara horisontal membuat wilayah kegiatan budidaya manusia semakin melebar dan meluas sehingga dikenal dengan istilah singkatan Jabodetabekjur. Padahal dulunya hanya dikenal Jakarta saja atau Jabotabek. Perluasan ini dinilai sangat tidak efisien, sangat boros energi dan menimbulkan emisi yang sangat besar. Keadaan transportasi publik yang tidak memadai menimbulkan masalah kemacetan.
Kebijakan kota kompak di Indonesia seharusnya diaplikasikan sebagai strategi pembangunan kota untuk mengendalikan perluasan (pengembangan) kota akibat cepatnya laju pertumbuhan penduduk. Kebijakan kota kompak di Indonesia sebaiknya lebih ditekankan pencapaian kondisi keberlanjutan pada: penyediaan infrastruktur yang efisien; keseimbangan aktivitas perkotaan yang mempertimbangkan kolaborasi dengan daerah rural sekitar; pertalian antara daerah perkotaan dan pedesaan; pencapaian kesetaraan / keadilan sosial. Beberapa peluang dalam mewujudkan kota yang hemat energi dengan mengacu pada sustainable city adalah memperbaiki dan membangun kota secara vertikal, sistem transportasi massal, kota berinti ganda, tata bangunan dan lingkungan hemat energi, dan ruang kota yang berorientasi pejalan kaki.
Hal yang dapat dilakukan pemerintah saat ini seharusnya dimulai dari kebijakan-kebijakan dalam hal transportasi dengan cara: penerapan road pricing system; pajak perparkiran; pajak kendaraan pribadi, penyediaan moda transportasi publik yang aman, nyaman, terjangkau; dll. Dalam hal lain seperti penyediaan sarana dan prasarana bagi pejalan kaki dan pengguna sepeda, fungsi lahan/bangunan campuran, preservasi dan konservasi kelestarian alam, konservasi bangunan-bangunan bersejarah, dll. Penerapan kebijakan tersebut juga harus dilandasi hukum yang tegas.
Yang tidak kalah penting yaitu pemerintah dalam mengambil pilihan atau tindakan harus mengikutsertakan masyarakat. Hal ini penting dan dikenal dengan Perencanaan Partisipatif.
Tujuan dari perencanaan wilayah yaitu rasa damai, kesehatan, kesejahteraan, dan kebahagiaan. Setiap kota adalah karya seni sosial yang mempunyai jati diri dan keunikan. Munculnya arus globalisasi sangat mengancam tatanan sosial-budaya. Perencana harus dapat menangkal pengaruh negatif globalisasi dengan gerakan “glokalisasi” atau dengan perencanaan partisipatif yang mendayagunakan benih-benih alternatif dari kearifan lokal, budaya, sumberdaya dan keunikan lokal.

Kesimpulan
Penerapan model kompak yang berasal dari negara-negara Eropa dinilai sebagai model kota yang paling berkelanjutan dimana terjadi intensifikasi kegiatan, pemadatan penduduk, ukuran kota yang kecil dengan batas yang jelas, optimalisasi transportasi publik, kesejahteraan sosio-ekonomi, dll. Hal ini merupakan satu kesatuan dan jika salah satu komponen tidak terpenuhi maka suatu kota tidak memenuhi syarat sebagai kota kompak. Hal ini tentu membutuhkan kesiapan dan dana yang sangat besar untuk pengimplementasiannya bagi suatu negara. Dan belum tentu model kota kompak cocok untuk diterapkan khususnya negara-negara berkembang.
Indonesia dirasa belum siap atau mungkin tidak cocok dalam penerapan ide kota kompak. Selain terkendala masalah-masalah yang kompleks, nilai-nilai budaya masyarakatnya masih dipegang teguh dan menjadikan karakteristik sendiri bagi Indonesia. Namun fenomena urban sprawl tidak juga bermanfaat bagi Indonesia. Hal yang harus dilakukan yaitu meminimalisir sisi negatif dari urban sprawl.

Sumber
Mike Jenks & Rod Burgess 2001: Compact Cities: Sustainable Urban Forms for
Developing Countries
George B. Dantzig& Thomas L. Saaty 1974: Compact City : A Plan for a Livable
Urban Environment
Sugandhy, Aca danRustam Hakim. 2007. Prinsip Dasar Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan. Jakarta: Bumi Aksara.
http://saniroy.wordpress.com/