Tuesday, April 12, 2011

Pengaruh Budaya Terhadap Kualitas Hidup Kota (Studi Kasus Kota Yogyakarta)

Pendahuluan
Isu ledakan penduduk masih menjadi isu yang ramai diperbincangkan dan menjadi tokoh utama dibalik permasalahan kota dan sampai saat ini pun dunia belum mampu mengatasi. Perkembangan kota akan semakin pesat ditandai dengan membesarnya ukuran kota bukan hanya dari segi jumlah penduduk namun juga dari segi fisik kota yang terus melebar. Dibawah tekanan jumlah penduduk yang terus meningkat dan tuntutan infrastruktur dan fasilitas perkotaan, kota semakin tidak nyaman. Padahal seharusnya semakin berkembang dan maju suatu kota, semakin nyaman kota tersebut. Namun yang terjadi malah berkebalikan. Lalu apa yang terjadi? Kota yang telah bermetamorfosa menjadi kota metropolitan bahkan kota megapolitan akan mengalami masalah yang makin kompleks. Kota lambat laun berubah menjadi Junk Cities dimana warganya mengalami kebosanan dan kota tersebut tidak punya jati diri. Penurunan kualitas lingkungan, kriminalitas dan masalah-masalah sosial, serta keadaan ruang fisik yang terabaikan. Tingkat stress yang tinggi akan membuat ketidaknyamanan bagi warga kota. Angka bunuh diri pun cenderung tinggi pada kota besar dengan tingkat stress yang tinggi. Persepsi warga tentang kenyamanan kotanya sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup kota.
Dengan semboyan “Jogja berhati nyaman” dan “alon-alon waton kelakon” Jogja berhasil dinobatkan sebagai kota dengan indeks persepsi kenyamanan tertinggi di Indonesia mengalahkan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Bukan hanya itu Jogja pun menduduki peringkat pertama angka harapan hidup tertinggi di Indonesia yaitu 77 tahun. Bahkan DIY memiliki penduduk lansia dengan persentase tertinggi di Indonesia. Fakta tersebut dapat diartikan bahwa warga Kota Jogja merasa nyaman dan aman tinggal di Jogja dan Jogja merupakan tempat idaman para pensiunan.
Citta Slow atau Slow city merupakan kota yang berlandaskan pada keseimbangan komponen-komponen pendukung seperti lingkungan dan budaya agar menciptakan kenyamanan bagi warga kota. Slow city bukanlah kota yang ketinggalan jaman atau primitif. Namun dapat menyelaraskan antara budaya dan modernitas. Segala yang baik tentang globalisasi dan modernitas dipertahankan. Slow city menciptakan kota yang berumur panjang dimana aspek lingkungan, sosial budaya dan ekonomi dapat saling bersinergi bukan berdiri sendiri. Slow city tidak selalu identik dengan pertanian, peternakan, pegunungan indah, dll. Namun slow city terbentuk dari akar yang pernah tumbuh yaitu kebudayaan. Dimana budaya tersebut telah melahirkan persepsi dan manual book tersendiri bagi warganya. Sehingga penentuan slow city bukan merupakan kegiatan serta merta atau pilihan. Namun tergantung dari kondisi warganya dan kebudayaannya. Jogja seharusnya dapat didukung untuk menjadi slow city dimana persepsi kenyamanan yang telah membudaya dapat dijadikan potensi dan patokan untuk mempertahankan kenyamanan kota dan menjaga kualitas hidup kota.

Kualitas Hidup Kota dan Kenyamanan Kota
“A Livable city is a city where I can have a healthy life and where I have the chance for easy mobility… The liveable city is a city for all people”
(D.Hahlweg,1997. The City as a Family)
Komponen-komponen pembentuk kualitas hidup kota yaitu livability (sosial), viability (ekonomi), dan sustainability (lingkungan). Ketiga aspek tersebut merupakan dasar bagi pengukuran kualitas hidup kota. Namun sebenarnya kriteria penilaian tidak dapat dijadikan standar yang sama karena setiap wilayah memiliki karakteristik yang khas. Kualitas hidup kota bersifat perseptual atau mencari tingkat kepuasan dan kesejahteraan maka tidak dapat dihitung dengan rumus atau teori tertentu. Daerah yang memiliki nilai kualitas hidup yang tinggi dianggap sebagai kota yang paling berkualitas dan paling menarik baik untuk dihuni, digunakan sebagai tempat bisnis atau sekedar dikunjungi.
Ketiga aspek tersebut yaitu sosial, lingkungan dan ekonomi tidak dapat berdiri sendiri dalam kedudukannya. Namun harus dicari keterkaitan antar aspek. Kenyamanan merupakan pertemuan antara manusia, ruang dan aktifitasnya. Kondisi seperti itu adalah kondisi ketiga elemen tadi. Maka tingkat kenyamanan didapat dari persepsi masyarakat terhadap kondisi dan aktifitas yang terjadi di kotanya. Menurut Stimson dalam Yuan : 1999, 147 dijelaskan bahwa sebuah kota haruslah nyaman, yaitu sebuah tempat yang memiliki keadilan sosial dan keadilan bagi masyarakatnya untuk memperoleh pelayanan fasilitas, keamanan dalam melakukan aktifitas dalam sebuah komunitas yang beraneka ragam. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kenyamanan hidup masyarakat yaitu faktor sosial budaya masyarakat dan faktor kebijakan pemerintah. Dalam artian diperlukan aksi top-down dan bottom up yang seimbang.
Kenyamanan sayangnya harus dibayar dengan harga. Perumahan mewah cenderung nyaman karena alokasi dana yang tinggi. Perlu adanya dukungan anggaran (investasi) pemerintah untuk mewujudkan kota yang nyaman. Juga dapat diimbangi dengan kreativitas dan peran serta warganya.
Penilaian/pengukuran seperti apakah untuk mengetahui kenyamanan suatu kota?

Most Liveable City Index
Most Liveable City Index (MLCI) merupakan penelitian yang dilakukan oleh Ikatan Ahli Perencana (IAP) Indonesia untuk mengetahui persepsi warga kota yang tinggal, menetap, dan beraktifitas, mengenai tingkat kenyamanan kota-kota besar di Indonesia ditinjau dari berbagai aspek. Warga disini ialah warga yang bersangkutan atau suatu kota dinilai oleh warganya sendiri dengan asumsi bahwa warga kota adalah pihak yang merasakan sendiri dan mengetahui secara pasti kondisi kotanya. Tujuannya adalah sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi pembangun kota agar berbenah diri demi warganya.
Prinsip dari kenyamanan itu sendiri yaitu tersedianya kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan), tersedianya fasilitas umum dan fasilitas sosial, tersedianya ruang publik, mendukung fungsi ekonomi, bebas dari kekhawatiran, sanitasi dan keindahan lingkungan.
Tujuh variabel utama perkotaan yaitu : Fisik Kota, Kualitas Lingkungan, Transportasi – Aksesibilitas, Fasilitas, Utilitas, Ekonomi dan Sosial. Dari 7 variabel utama tersebut kemudian ditetapkan 25 kriteria.
No.
Kriteria
1
Kualitas Penataan Kota
2
Jumlah Ruang Terbuka
3
Perlindungan Bangunan Bersejarah
4
Kualitas Kebersihan Lingkungan
5
Tingkat Pencemaran Lingkungan
6
Ketersediaan Angkutan Umum
7
Kualitas Angkutan Umum
8
Kualitas Kondisi Jalan
9
Kualitas Fasilitas Pejalan Kaki
10
Ketersediaan Fasilitas Kesehatan
11
Kualitas Fasilitas Kesehatan
12
Ketersediaan Fasilitas Pendidikan
13
Kualitas Fasilitas Pendidikan
14
Ketersediaan Fasilitas Rekreasi
15
Kualitas Fasilitas Rekreasi
16
Ketersediaan Energi Listrik
17
Ketersediaan Air Bersih
18
Kualitas Air Bersih
19
Kualitas Jaringan Telekomunikasi
20
Ketersediaan Lapangan Pekerjaan
21
Tingkat Aksesibilitas Tempat Kerja
22
Tingkat Kriminalitas
23
Interaksi Hubungan Antar Penduduk
24
Informasi Pelayanan Publik
25
Ketersediaan Fasilitas Kaum Diffable
                              Sumber: Simposium Perkotaan IAP, 2008
Berdasarkan survey pada kota-kota besar di Indonesia dengan 100 orang responden di tiap kotanya, telah dinobatkan Kota Yogyakarta adalah Most Liveable City 2009 dengan nilai 65,34. Diposisi kedua dan ketiga ditempati oleh Menado dan Semarang. Sementara persepsi kenyamanan warga terendah adalah Kota Pontianak.
Hampir di seluruh kriteria, persepsi warga Kota Jogja selalu baik. Kota Jogja unggul dalam kriteria hubungan interaksi antar penduduk, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, jaringan telekomunikasi, ketersediaan listrik. Sementara kriteria paling tidak nyaman meliputi ketersediaan fasilitas kaum diffabel, ketersediaan lapangan kerja, pencemaran lingkungan, ketersediaan RTH, dan penataan kota.

Faktor apakah yang melatarbelakangi persepsi warga Kota Jogja sehingga berada di posisi pertama?

Jogja sebagai Kota Budaya
Jogja memiliki koleksi brand atau sebutan. Kota Pelajar, Kota Gudeg, Kota Wisata dan yang pasti Kota Budaya. Budaya yang tumbuh di Jogja adalah kebudayaan Jawa yang berasal dari abad ke 16 yaitu Kerajaan Mataram hingga pecahannya yaitu Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Dengan kepemimpinan Sri Sultan Hamengkubuwono dan Sri Paku Alam, rakyat Yogyakarta merasa terayomi dan hidup secara damai dan sejahtera. Hal ini terbukti selama ini kehidupan masyarakat Yogyakarta adem ayem, toto titi, tentrem, dan tetap maju tidak terjadi gejolak politik, sosial, ekonomi yang menonjol.
Melihat fakta survey bahwa lebih dari 90% warga Jogja mendukung Sultan dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY, menandakan bahwa kehadiran kedua sosok pemimpin tersebut sudah sangat mendarah daging bagi masyarakat Jogja. Budaya yang tidak dapat diganggu gugat karena jikalau diusik maka akan terjadi kekacauan dan amarah bagi rakyat Jogja. Budaya telah melahirkan sikap dan perilaku sosial.
Kasus diatas hanyalah contoh untuk menunjukkan bahwa budaya adalah suatu identitas, tata cara dan pola pikir yang khas. Setiap daerah memiliki keunikan budaya tersendiri. Tanpa menyinggung unsur SARA sengaja diambil contoh kebudayaan dan adat istiadat Jawa karena cocok dengan kasus Kota Jogja.
Dalam sudut pandang orang Jawa, terdapat falsafah tuntunan hidup orang Jawa, yang sarat dengan kearifan pencapaian budaya yang adiluhung, yang merupakan hasil cipta, rasa dan karsa yang bisa ditelisik dan dirunut secara rasional untuk mudah dipahami. Terdapat suatu landasan peri kehidupan dalam budaya Jawa yaitu keadaan sosial yang berdasarkan kerukunan dan keselarasan. Keberadaan Walisongo pada jaman dahulu memiliki andil dalam pembentukan agama dan kebudayaan masyarakat Jogja. Nilai-nilai yang ditanamkan pada masyarakat Jogja yakni: dalam keberagaman terdapat kerukunan, disiplin dan kedamaian; karakter yang ramah dan sopan; mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat; mensyukuri segala nikmat; semangat dalam bekerja, berprestasi dan berjasa; saling menghormati, membantu, rukun dan tenggang rasa; gotong royong. Juga dalam aspek lingkungan, nenek moyang telah mewariskan cara-cara dalam pengelolaan alam agar tidak merusaknya.
Budaya tersebut hebatnya masih bertahan hingga saat ini dengan pengaplikasian dalam kehidupan sehari-hari. Situs bersejarah masih dijaga dengan baik, pemerintah pun mempertahankan nuansa tradisional dalam aspek ruang kota serta aspek-aspek yang lain. Faktor inilah yang menjadi potensi yang luar biasa berharga. Karena kebudayaan tidak bisa diciptakan sekarang dan tiba-tiba dihadirkan dalam suatu kota.
Masyarakat hidup rukun dan saling menghormati karena disatukan oleh ikatan etnik, budaya, kesamaan tujuan, dan filosofi kehidupan. Maka tak salah banyak orang menilai orang Jogja ramah-ramah dan sopan. Budaya masyarakat Kota Jogja yang lembut, sopan, ramah, penurut dan tidak banyak menuntut kiranya merupakan salah satu alasan tingginya persepsi kenyamanan warga terhadap kotanya selain tentu saja pencapaian pembangunan kota yang telah dilakukan pemerintah bersama dengan warga Kota Jogja. Bersama dengan budaya terjalin keselarasan, keharmonisan, kenyamanan serta kehidupan berkualitas baik di kota.

Namun budaya cenderung digerus oleh waktu. Hilang oleh perkembangan jaman. Globalisasi dan modernitas telah merampas nilai-nilai yang telah ditanamkan nenek moyang. Yang perlu dilakukan yaitu mengembalikan sistem kehidupan yang dinilai positif yang telah ada sejak jaman dulu. Menjaga kearifan lokal dan menciptakan potensi-potensi dari segi tersebut. Artinya para pembangun kota harus mempelajari budaya/sejarah suatu wilayah. Karena dengan mempelajari sejarah, perencana kota dapat memelihara sesuatu yang baik tentang kota, sementara berupaya merencanakan pertumbuhan di dalamnya. Perkembangan kota mencerminkan evolusi. Dari evolusi ini timbullah sejumlah pembelajaran, pengalaman, tradisi, dan kecenderungan. Mengabaikan pengalaman-pengalaman pendahulu hanya akan mengakibatkan terulangnya kembali kesalahan-kesalahan masa lalu (Catanese, 1988).

Bentuk kota seperti apa yang diintegrasikan unsur budaya di dalamnya?

Citta Slow – Slow city
Citta Slow atau Slow city adalah gerakan mengembangkan ekonomi  secara ramah lingkungan dan menjaga kebudayaan setempat dengan prinsip kesejahteraan dan kenyamanan masyarakat. Kemunculannya menjawab dari sebagian masyarakat yang lelah dengan kondisi kota yang umumnya terlihat hiruk pikuk. Makna slow ialah keseimbangan dalam hidup. Tujuan slow city ini adalah menjaga kelestarian lingkungan, bangga terhadap kebudayaan setempat, menggunakan produk dan kerajinan lokal serta menjaga hubungan sosial antar masyarakat.
Slow city bukan berarti terasing dari dunia modern namun tetap berdampingan dengan perkembangan teknologi. Slow city menciptakan kota yang berkelanjutan. Ciri dari slow city yaitu sustainability, hospitality, dan social welfare. Enam variabel utama dari slow city yaitu:
·         Kebijakan Lingkungan
Menggunakan sumber energi alternatif, teknologi pertanian, mengurangi polusi, mengadopsi sistem pengolahan lingkungan seperti ECOLABEL, ISO 9001, ISO 14000, dll.
·         Kebijakan Infrastruktur
Sistem transportasi yang baik dan efisien, menghilangkan privatisasi pada public space, menunjang sarana sosial masyarakat, dan program-program pengembangan kota.
·         Teknologi dan Fasilitas Kota
Mengedepankan arsitektur kota yang ramah lingkungan atau bioarchitecture, menjaga kelestarian lingkungan.
·         Melindungi produk lokal
Pengembangan pertanian organik, memberikan sertifikat kepada pengrajin lokal, menjaga produk lokal agar jangan sampai punah, melestarikan cara-cara tradisional dalam bekerja untuk menghindari kepunahan, menggunakan produk organik untuk makanan di semua tempat mencakup restoran, kantin sekolah, dll, mengembangkan slow food, mengekspor produk lokal, mempromosikan serta melestarikan acara-acara kebudayaan.
·         Keramahtamahan
Bersikap ramah terutama kepada pengunjung, menyediakan fasilitas yang memadai untuk para pengunjung.
·         Kepedulian
Mensosialisasikan program slow city kepada khalayak masyarakat agar tahu program dan sistemnya seperti apa dan menjaga filosofi slow itu sendiri.
Slow city pertamakali dikembangkan di Orvieto, Italia pada tahun 1999, dan segera diikuti oleh kota-kota lain di berbagai negara. Target dari slow city yaitu menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi penduduk kota, meningkatkan kualitas hidup kota, mencegah homogenisasi dan globalisasi, melestarikan lingkungan, mempromosikan keberagaman budaya serta keunikan tersendiri dari kota, menginspirasikan gaya hidup sehat.
"Cittaslow is about more than a set of 50 goals and principles. It is a way of thinking. It is about caring for your town and the people who live and work in it or visit it. It is about celebrating and promoting diversity and avoiding the ‘sameness’ that afflicts too many towns in the modern world. It is about finding a place in a changing world where values are often uncertain and the needs and aspirations of local communities can often be overlooked." – Citta Slow
Slow city muncul akibat tekanan dunia global dan modernisasi yang bergerak cepat, sehingga konsep slow city bergerak dari cepat ke lambat. Untuk kasus Kota Jogja, memiliki latar belakang budaya yang slow dari dulu namun terdapat tanda-tanda Kota Jogja akan dimasuki oleh unsur-unsur modern yang homogen. Unsur tersebut akan menggerus nilai-nilai kebudayaan yang ada. Maka sebelum terlambat harus ada upaya pencegahan. Meski jumlah penduduk Kota Jogja sudah tidak memungkinkan untuk menjadi kota slow, namun potensi terbesar terletak pada nilai-nilai budaya setempat.
Penutup
Ungkapan dalam bahasa Jawa “alon-alon waton kelakon” (seperti pribahasa biar lambat asal selamat) sangat mencerminkan setiap aspek kotanya. Mulai dari makanan yang tergolong slow food (lawan dari fast food), kesenian budaya (wayang, batik, tarian), kesenian musik (gamelan), kendaraan khas (andong dan becak), juga gaya berkomunikasi warganya yang lembut dan perlahan. Kota Jogja terkenal murah dalam biaya hidup sehingga untuk bertahan hidup saja mudah. Hal-hal inilah yang menjadikan potensi yang patut dilestarikan. Jangan sampai pemerintah salah ambil langkah jika tidak secara serius mengelola Kota Jogja. Bisa-bisa nilai budaya tersebut dapat punah. Nilai-nilai ini yang menjadikan Kota Jogja sebagai kota yang nyaman, aman dan damai. Bisa diibaratkan Kota Jogja dijuluki City of Happiness – Kota Kebahagiaan. Bahagia disini dimaksudkan kondisi rileks, slow dan gembira.
Permasalahan terhadap kualitas hidup kota muncul akibat pengambil kebijakan yang mengabaikan karakteristik suatu wilayah. Kebijakan yang ada sekarang meskipun secara konseptual sudah cukup baik tetapi pada tataran praksis masih belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Maka mutlak dilakukan oleh para perencana untuk belajar sejarah dan karakteristik suatu kota sebelum mengambil langkah. Bukan hanya bertujuan menyelesaikan masalah semata namun bagaimana menciptakan keseimbangan agar terbentuk kota yang berkelanjutan. Perlu adanya suatu kesetaraan antara penyelenggara pemerintahan dan seluruh lapisan masyarakat kota dalam mewujudkan lingkungan kota yang berkualitas. Perlu adanya fasilitasi terhadap para penyandang cacat, wanita hamil dan orang tua serta dari sisi kelembagaan perlu adanya akuntabilitas dari penyelenggara pembangunan dan di sisi lain kepatuhan terhadap hukum dari sisi konsumen/ masyarakat. Bersama-sama seluruh penghuni kota mewujudkan harmonisasi perkembangan kota melalui keseimbangan dan keselarasan antar elemen-elemen perkotaan, kebijakan penataan ruang yang kondusif bagi sektor informal, menjaga keunikan identitas kota serta peningkatan keterlibatan masyarakat kota.
Dalam menciptakan kota yang nyaman diperlukan sebuah kota yang berkarakter dan memiliki penghargaan terhadap budaya lokal dan tetap mempertahankan ciri khas lokal. Dalam kasus Kota Jogja yang merupakan kota berbudaya kiranya perlu upaya antisipasi atau pencegahan terhadap punahnya budaya tersebut. Maka slow city adalah solusi yang tepat untuk menahan gempuran globalisasi yang mengancam budaya. Slow city bukan merupakan perubahan idealisme atau tatanan kehidupan, bukan merupakan cara baru dan asing. Namun hanya suatu penetapan oleh pemerintah bahwa kota tersebut dinobatkan sebagai slow city dan kota tersebut mendapatkan perlindungan dengan berbagai peraturan dan program agar lebih terencana dan terhindar dari arus globalisasi. Slow city hanya sebagai benteng perlindungan.

Daftar Pustaka
Pontoh, Nia K. Pengantar Perencanaan Perkotaan. Bandung: Penerbit ITB. 2008
Budiharjo, Eko. Kota Berkelanjutan. Bandung: Penerbit Alumni. 2009

Internet:
www.cittaslow.net
www.en.wikipedia.org
www.iap.or.id
www.tomyarjunanto.wordpress.com
www.serambimadina.wordpress.com
www.tourism.jogja.go.id

0 comments:

Post a Comment